Tanggal14 Agustus 1950 melalui Peraturan Pemerintah RIS No. 21 Tahun 1950, merupakan tanggal dibentuknya provinsi Kalimantan, setelah pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan gubernur Dokter Moerjani. Penduduk Kalimantan Selatan berjumlah 3.626.616 jiwa (2010). Kawasan Kalimantan Selatan pada masa lalu merupakan bagian dari 3 Setelah adik-adik selesai membaca salah satu kisah yang diambil dari kumpulan legenda cerita rakyat dari Kalimantan Selatan ini, adik-adik tentu akan berpendapat bahwa cerita rakyat Indonesia ini memiliki persamaan dalam unsur cerita rakyat dengan salah satu cerita rakyat Nusantara dari daerah Sumatera Barat. Iya benar tebakan adik-adik, cerita rakyat kali ini sangat mirip dengan Cerita Rakyat Malin kundang. Walaupun cerita kali ini tidak terkenal seperti Kisah Malin Kundang namun legenda rakyat Putmaraga sangat menarik untuk disimak. Ingat yah pesan dari Hikayat Putramaraga adalah agar kita selalu berbakti kepada kedua orang tua kita. Kumpulan Legenda Cerita Rakyat Hikayat Putmaraga Tersebutlah sebuah keluarga miskin yang tinggal di desa Kalampaian. Keluarga itu terdiri dari seorang ibu dan anak lelaki satu-satunya. Putmaraga nama anak lelaki itu. Sepeninggal sang ayah, kehidupan keluarga itu bertambah kesulitan. Kerap Putmaraga dan ibunya merasakan kekurangan. Pada suatu malam ibu Putmaraga bermimpi didatangi seorang nenek renta. Si nenek renta berujar kepadanya, “Galilah tanah di belakang rumahmu, di antara pohon nangka.” Keesokan harinya ibu Putmaraga mengajak anaknya untuk menggali tanah di belakang rumahnya sesuai pesan nenek renta dalam impiannya. Tidak mereka duga, mereka menemukan sebuah guci Cina yang sangat besar. Isi guci besar itu membuat ibu Putmaraga dan Putmaraga amat tercengang. Mereka mendapati intan dan berlian yang sangat banyak jumlahnya di dalam guci. Kumpulan Legenda Cerita Rakyat Dari Kalimantan Selatan Putmaraga memberikan usulnya, “Kita bawa intan dan berlian ini kepada Kepala Suku. Kita tanyakan kepada beliau, kepada siapa kita hendaknya menjual intan dan berlian ini.” Ibu Putmaraga setuju dengan usul anaknya. Mereka lantas membawa intan dan berlian temuan mereka itu kepada Kepala Suku. Kepala Suku menyarankan agar mereka membawa intan dan berlian itu ke Medangkamulan. Katanya, “Raja Medangkamulaan terkenal kaya raya. Ia tentu mampu membeli intan dan berlian kalian yang sangat mahal harganya ini.” Ibu Putmaraga akhirnya meminta anaknya itu berangkat menuju Medangkamulan. Ia berpesan agar anaknya itu senantiasa bersikap jujur dan tidak sombong. “Lekas engkau kembali setelah berhasil menjual intan dan berlian ini.” Putmaraga berjanji akan mematuhi semua pesan ibunya. Dengan menumpang sebuah kapal besar milik seorang saudagar, Putmaraga akhirnya tiba di Medangkamulan. Benar seperti saran Kepala Suku, Raja Medangkamulan bersedia membeli intan dan berlian itu dengan harga yang pantas. Raja Medangkamulan malah menyarankan agar Putmaraga tinggal di Medangkamulan. Putmaraga lantas berdagang. Usaha perdagangannya membuahkan hasil yang banyak baginya. Di Medangkamulan itu Putmaraga terus membesarkan usaha dagangnya hingga beberapa tahun kemudian Putmaraga telah dikenal sebagai seorang saudagar yang sangat berhasil. Ia adalah saudagar terkaya di Medangkamulan. Raja Medangkamulan sangat terkesan dengan semangat dan usaha Putmaraga. Ia pun menikahkah salah satu putrinya dengan Putmaraga. Usaha dagang Putmaraga kian membesar setelah ia menjadi menantu Raja Medangkamulan. Putmaraga menyatakan kepada istrinya bahwa ia masih mempunyai ibu. Ia bahkan menjanjikan kepada istrinya untuk menemuinya ibunya. Karena janjinya itu maka istrinya berulang-ulang menyatakan keinginannya untuk bertemu dengan ibu Putmaraga itu. Karena terus didesak istrinya, Putmaraga tak lagi bisa mengelak. Ia segera memerintahkan kepada anak buahnya untuk menyiapkan kapal yang besar lagi mewah miliknya yang akan digunakannya untuk berlayar ke kampung halamannya. Setelah berlayar beberapa waktu Iamanya, kapal besar lagi mewah milik Putmaraga itu akhirnya merapat di pelabuhan Banjar, di wilayah asal Putmaraga. Dalam waktu tak berapa lama kedatangan Putmaraga dengan kapal miliknya itu menyebar diketahui warga. Kekaguman warga pun tertuju pada Putmaraga, seseorang yang dahulu mereka kenal hidup miskin bersama ibunya. Tak terkirakan gembira dan bahagianya hati Ibu Putmaraga ketika mendengar kedatangan anaknya. Sampan kecilnya segera dikayuhnya menuju tempat di mana kapal anaknya tengah merapat. Kerinduannya bertahun-tahun kepada anaknya itu hendak dituntaskannya. Seketika mendekati kapal yang besar lagi mewah itu, Ibu Putmaraga lantas menyebutkan kepada penjaga kapal, “Saya ini ibu Putmaraga. Sampaikan kepada Putmaraga, saya ingin bertemu dengannya.” Dari geladak kapalnya, Putmaraga melihat kedatangan ibunya. Mendadak ia merasa malu hati mengakui jika perempuan tua yang berpakaian lusuh lagi kumal itu adalah ibunya. Putmaraga menolak kedatangan ibunya dan bahkan memerintahkan kelasinya untuk mengusir ibunya. Katanya keras-keras seraya bertolak pinggang, “Usir perempuan tua buruk rupa yang mengaku ibu kandungku itu! Ia bukan ibuku! Ia hanya mengaku-ngaku!” Tak terkirakan terperanjatnya Ibu Putmaraga mendengar ucapan anaknya. Ia berusaha keras untuk menyadarkan anaknya, namun Putmaraga tetap juga menolak untuk mengakui sebagai anaknya. Bahkan, ketika istrinya pun turut menyadarkan, Putmaraga tetap bersikukuh jika perempuan tua itu bukan ibunya. Ibu Putiparaga bergegas pulang ke rumahnya. Ia mengambil ayam bekisar jantan dan ikan ruan yang dahulu dipelihara Putmaraga. Seketika ia telah kembali ke kapal besar milik Putmaraga, ia pun menunjukkan dua hewan itu seraya berkata, “Putmaraga anakku, Iihatlah dua binatang kesayanganmu ini. keduanya tetap Ibu rawat selama engkau pergi ke Medangkamulan. Apakah engkau masih tidak percaya jika aku ini ibumu?” “Tidak!” seru Putmaraga. “Engkau bukan ibuku! Engkau hanya perempuan tua yang mengaku-ngaku sebagai ibuku karena menginginkan harta kekayaanku! Kelasi, usir perempuan tua itu dari kapalku ini!” Putmaraga sangat jengkel karena melihat ibunya tetap berusaha menjelaskan jika ia adalah ibu Putmaraga. Karena jengkelnya, Putmaraga lantas melempari ibunya dengan kayu-kayu. Salah satu lemparan itu telak mengena ibunya hingga ibunya jatuh terpelanting. Ibu Putmaraga merasa putus asa. Sakit benar hatinya mendapati sikap anaknya yang durhaka terhadapnya itu. Ia pun kembali ke rumahnya seraya mengayuh sampan kecilnya. Air matanya terus bercucuran ketika meninggalkan kapal milik anaknya itu. Dengan hati remuk redam, ia pun berdoa kepada Tuhan, “Ya Tuhan, sadarkanlah kedurhakaan anak hamba itu.” Seketika setelah ibu Putmaraga berdoa, alam tiba-tiba menampakkan kemarahannya. Langit yang semula cerah berubah menjadi amat gelap. Awan hitam bergulung-gulung. Kilat berkerjapan laksana merobek-robek langit yang disusul dengan gelegar petir berulang-ulang. Angin topan mendadak datang, menciptakan gelombang yang menderu-deru dengan kekuatan dahsyatnya. Semua kemarahan alam itu seperti tertuju pada Putmaraga yang kebingungan serta ketakutan di dalam kapal besar lagi mewahnya. Kapal Putmaraga seketika itu digulung gelombang air berkekuatan dahsyat. Sadarlah Putmaraga akan kedurhakaan besarnya terhadap ibu kandungnya. Ia pun berteriakteriak meminta ampun kepada ibunya. Namun, semuanya telah terlambat bagi Putmaraga. Kedurhakaan besarnya kepada ibunya tidak berampun. Kapal besar lagi mewah itu sirna ditelan ombak besar bergulung. Seketika alam telah kembali tenang, kapal besar lagi mewah milik Putmaraga itu mendadak menjadi batu. Pesan moral dari Kumpulan Legenda Cerita Rakyat Hikayat Putmaraga adalah kedurhakaan kepada orangtua, terutama ibu, akan berbuah kemurkaan Tuhan. Sekali-kali janganlah kita berani durhaka jika tidak ingin mendapatkan kemurkaan Tuhan.
KalimantanBarat - Indonesia. Rating : 2.5 (147 pemilih) Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Kalimantan dan berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia Timur. Provinsi ini memiliki ratusan sungai besar dan kecil, sehingga dijuluki sebagai wilayah Seribu Sungai .
Cerita Batu Menangis adalah dongeng rakyat Kalimantan Barat yang sangat terkenal. Konon hingga saat ini batu tersebut masih mengeluarkan air. Kalian tentunya penasaran dengan legenda batu menangis ini. Kakak ceritakan dengan lengkap yah. Selamat membaca. Di sebuah desa tinggalah seorang ibu bersama anak perempuannya yang bernama Darmi. Gadis itu memang rupawan, sayang sifatnya tak secantik wajahnya. Darmi adalah gadis pemalas yang hanya gemar bersolek. Setiap hari ia mematut dirinya di depan cermin, mengagumi kecantikan wajahnya. “Ah, aku memang jelita,” katanya. “Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di gubuk reot seperti ini.” Matanya memandang ke sekeliling ruangan. Hanya selembar kasur yang tidak empuk tempat dia tidur yang mengisi ruangan itu. Tidak ada meja hias yang sangat dia dambakan. Bahkan lemari untuk pakaian pun hanya sebuah peti bekas. “Sampai kapan aku akan hidup seperti ini?” keluh Darmi dalam hati. Darmi memang bukan anak orang kaya. Ayahnya sudah meninggal dan ibunya tak punya banyak uang. Untuk menghidupi mereka berdua, sang ibu bekerja membanting tulang dari pagi hingga malam. Pekerjaan apapun dia lakukan, mencari kayu bakar di hutan, menyabit rumput untuk pakan kambing tetangga, mencucikan pakaian orang lain. Pekerjaan apapun akan ia lakukan untuk memperoleh sedikit upah. Sebaliknya Darmi adalah anak yang manja. Sedikit pun dia tak iba melihat ibunya bekerja keras sepanjang hari. Ia bahkan tak tergerak untuk ikut membantu menyelesaikan pekerjaan di rumah. Dan jika ada sesuatu yang sangat diinginkannya, ia pun akan merengek agar permintaannya dituruti. Seperti minggu lalu, saat seorang kawannya dari desa di Utara sungai yang mengadakan pesta perayaan. Darmi mendapat undangan untuk menghadirinya. Tentu saja hal teresebut membuat gadis cantik itu senang bukan kepalang. Dibayangkannya tamu-tamu dalam pesta itu akan memandangi wajahnya yang rupawan. Para pria memuji kecantikannya, sementara para wanita mungkin akan iri hati melihat penampilannya. Namun tiba-tiba Darmi teringat bahwa ia tak memiliki pakaian yang pantas dikenakannya di pesta tersebut. Segeralah ia mencari ibunya yang sedang memasak di dapur. “Ibu, tolong belikan aku pakaian dan selendang baru. Lusa akan ada pesta di desa Utara sungai, dan aku tak punya pakaian yang pantas. Bajuku sudah usang semua,” kata Darmi merengek. “Bukankah minggu lalu kau sudah beli baju baru? Mengapa tak kau pakai yang itu saja. Masih bagus bukan?” ujar sang ibu. “Aaah, tidak mau. Baju yang itu sudah pernah aku pakai, malu dong pakai baju yang itu-itu lagi. Apa kata orang nanti?! Ayolah, Bu belikan aku pakaian lagi.” Sang ibu hanya bisa menghela napas panjang mendengar permintaan anak semata wayangnya itu. Ia tak tega padanya. “Baiklah, besok pagi kita akan membelinya di pasar.” “Tidak mau.” Teriak Darmi kasar. “Aku tidak mau pergi ke pasar dengan ibu. Sebaiknya ibu berikan saja uangnya padaku agar aku bisa membelinya sendiri.” “Tapi, Darmi, besok Ibu harus ke pasar terlebih dahulu untuk menjual kayu bakar yang ibu dapatkan hari ini. Setelah terjual, baru uangnya bisa kau belikan pakaian. Bukankah Iebih baik kita berangkat ke pasar bersama-sama?” Darmi terdiam. Ia sebenarnya tak ingin pergi ke pasar bersama ibunya. Ia malu dan khavvatir jika ada orang yang melihatnya berjalan bersama wanita tua itu lalu mengejeknya. Akan tetapi, gadis itu tak punya alasan untuk menolak, sebab tanpa uang hasil penjualan kayu bakar, ia tak mungkin bisa membeli pakaian baru. Akhirnya, Darmi masuk ke kamarnya sambil cemberut dan menggerutu. Keesokkan paginya, mereka bersiap hendak ke pasar. Darmi terlihat sangat cantik dengan baju merah mudanya yang terlihat mahal, sementara sang ibu mengenakan pakaian Iusuh. Darmi berjalan cepat sekali, rnembuat ibunya tak mampu mengikutinya. “Hai, Darmi. Mengapa kau berjalan cepat sekali menginggalkan aku di beIakangmu. Kau tau aku tak kuat menyusul langkahmu.” Darmi diam saja, dan terus mempercepat Iangkahnya. Ia tak ingin ketahuan berjalan bersama ibunya. Di tengah jalan, Darmi disapa oleh beberapa orang dari desa tetangga yang menyapanya. “Hai Darmi, mau pergi kemana kau?” sapa mereka. “Aku mau ke pasar,” jawab Darmi. “Oh, siapa nenek yang di belakangmu itu? Ibumu kah?” Seketika wajah Darmi terlihat memerah karena malu, “Oh bukan! Bukan! Mana mungkin dia ibuku.” Jawab Darmi cepat. Ia pun segera mempercepat langkahnya agar tak ditanya-tanya lagi. Betapa terkejutnya sang ibu mendengar perkataan anak kesayangannya itu. Rasa marah mulai muncul dalam hati karena gadis itu tidak mau mengakui dirinya sebagai ibu. Namun ia menahan amarahnya dan berharap Darmi akan segera berubah pikiran. Sayangnya, harapan sang ibu tak terjadi. Sepanjang perjalanan mereka bertemu beberapa orang lagi, dan Darmi terus mengatakan hal yang sama. Akhirnya sang ibu tak tahan lagi kesedihan. Sambil bercucuran air mata, ia pun menegur anaknya. “Wahai anakku, sebegitu malunya kah kau mengakui aku sebagai ibumu? Aku yang melahirkanmu ke dunia ini. Apakah ini balasanmu pada ibumu yang menyayangimu?” Darmi menoleh kesal dan membentak, “Aku tidak minta dilahirkan oleh ibu yang miskin sepertimu. Aku tidak pantas menjadi anak ibu. Lihatlah wajah ibu’ Jelek, keriput dan lusuh! Ibu Iebih pantas jadi pembantuku!” Dengan angkuh, Darmi terus melangkah meninggalkan sang ibu yang terduduk di pinggir jalan. Air matanya mengalir deras di kedua pipinya. Perasaannya remuk rendam, tak mampu ia berkata-kata selain mengadahkan kedua tangannya ke langit. Rasa sakit di hatinya membuat ia kutukan. “Tuhan, hamba tidak lagi menahan penghinaan anak hamba ini! benar telah membatu hati anak hamba ini, karena itu, Ya Tuhan, hukumlah anak hamba durhaka itu menjadi batu!” Doa sang ibu terkabul. Tiba-tiba langit menjadi gelap, awan biru berubah berubah mendung dan kilat menyambar-nyambar diiringi guntur yang menggelegar. Darmi merasa sangat takut, lalu ia mencoba berlari menjauh. Saat itulah ia menyadari bahwa kedua kakinya berubah menjadi batu. Darmi menjerit ketakutan. Betapa mengerikannya perasaan yang dialaminya ketika mendapati kedua kaki berubah menjadi batu. Ia kian ketakutan mendapati pinggangnya pun berubah membatu. Sadarlah ia, semua itu terjadi karena kedurhakaan besarnya kepada ibunya. Maka dia pun berteriak-teriak,”Ibu, ampuni aku! Ampuni aku! Ampuni kedurhakaan anakmu ini, Bu” Legenda Cerita Batu Menangis Namun, semuanya telah terlambat bagi Darmi. Sang ibu hanya terdiam. Sama sekali tak berusaha mengabulkan permohonan anaknya yang telah berbuat durhaka terhadapnya. Ia merasa telah cukup mengalami penderitaan yang diakibatkan anaknya itu. Hingga akhirnya seluruh tubuh Darmi berubah menjadi batu. Batu jelmaan Darmi itu terus meneteskan air seperti air mata penyesalan yang menetes dari mata Jelita. Orang-orang yang mengetahtui adanya air yang terus menetes dari batu itu kemudian menyebutnya Batu Menangis. Pesan Moral dari Cerita Batu Menangis – Dongeng Kalsel adalah hormati kedua orangtua kamu, terutama ibu yang sudah melahirkan kamu. Membuat ibumu bersedih atas tingkah lakumu yang tidak baik hanya akan membuat hidupmu susah di kemudian hari. Baca juga cerita rakyat Kalimantan lainnya pada posting kami berikut ini Cerita Rakyat Dongeng Batu Menangis FotoIstimewa SuaraKalimantan.com, TAPIN - Dihari akhir pengerjaan Program TNI Manunggal Membangun Desa (TNI), Masyarakat Desa Suato Lama bergantian mengutarakan isi hatinya kepada Satgas TMMD Ke 111 Kodim 1010/Tapin. Selasa, (13/7/2021) Rusman (43) warga Desa Suato Lama menceritakan bahwa
BaritoKuala adalah salah kabupaten di Propinsi Kalimantan Selatan. Di daerah ini terdapat beberapa pulau yang terletak di tengah-tengah Sungai Barito yang membelah Kabupaten Barito Kuala. Kumpulan Cerita Rakyat di 00.06. Tidak ada komentar: Posting Komentar. Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda. Langganan: Posting Komentar (Atom

Salahsatu jenis kekayaan budaya Nusantara adalah cerita rakyat. Pada artikel blog The Jombang Taste sebelumnya kita sudah membahas Legenda Raja Baik Hati dari Kalimantan Selatan dan Legenda Asal Usul Danau Lipan dari Kalimantan Timur. Berikutnya, mari cari tahu cerita rakyat Bali mengenai asal-usul Danau Batur dan Gunung Batur di Bali.

Iniadalah salah satu cerita rakyat Kalimantan Selatan yaitu legenda "Puteri Junjung Buih" yang dikisahkan secara turun temurun. Sering pula dilantunkan sebagai sebuah dongeng untuk pengantar tidur anak-anak. Alkisah dulu pada suatu masa, di Kalimantan Selatan terdapatlah sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Amuntai.
PNsk. 56 141 263 387 179 432 282 73 4

cerita rakyat kalimantan selatan singkat